Categories

google translate

Minggu, 31 Juli 2011

Mengenal Prof Dott Sampurno (Sang Pionir Geologi Teknik)


Saya dengan Prof Dott Sampurno beserta istinya (Waktu Kuliah Lapangan 2 di Bayat)


Dia salah seorang pionir geologi teknik dan lingkungan di Indonesia. Bidang keilmuan yang berkait erat dengan teknik sipil, bencana alam dan lingkungan. Bumi, kata guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), ini ibarat remasan kerupuk di atas bubur panas. Di Bumi ini terdapat lebih kurang 16 keping lempeng. Pergeseran satu lempeng itu, hari Minggu, 26 Desember 2004, mengakibatkan gempa yang disusul tsunami dan merenggut ratusan ribu jiwa manusia, di antaranya di Aceh dan Sumut.

Jika diibaratkan bumi ini sebesar bola sepak, maka tanah tempat manusia menempel di atasnya ibarat kulit yang tebalnya hanya 0,7 milimeter. Kulit yang tipis itu mengapung-apung di atas massa cair kental yang pijar bersuhu tinggi. Kulit bumi yang tipis terus bergerak, bergeser, saling mendesak, mengerut dan terkoyak atau sobek di sana-sini sehingga pecah berkeping-keping. Satu di antara pergeseran lempeng tersebut terjadi hari Minggu, 26 Desember 2004, mengakibatkan gempa yang disusul tsunami.

Pria kelahiran Semarang, 2 Desember 1934, dari keluarga sederhana pasangan M Koetojo dan Ny Moendijah, ini mengaku sudah tertarik dengan ilmu kebumian sejak SMP dan SMA. Kemudian, ia memasuki Jurusan Geologi FIPIA Universitas Indonesia (UI), kini Institut Teknologi Bandung (ITB), tahun 1954. Kala itu, tempat kuliahnya bekas bedeng asrama tentara, berupa bangunan setengah bata dan setengah bilik. Ruang baca bersatu dengan ruang tata usaha sehingga selalu ramai.

Dia menyenangi bidang geologi teknik karena hasil pekerjaannya bisa cepat dievaluasi dan banyak berhubungan dengan orang banyak. Tahun 1959-1962, ia melanjutkan studi geologi di Facolta di Scienae Universitas Degli Studi, Padova, Italia. Ia meraih gelar dottore in scienze geologiche dengan tesis berjudul Studio Petrografico della zona di Contatto di Val San Valentino, Adamello.

Saat studi di Italia itu, Sampurno merasa kagum melihat karya Prof Dr Dal Piaz yang mengolah geologi jalan raya Bologna-Florence di Italia. Sehingga minatnya tentang geologi semakin tinggi.


Sekembali dari Italia, dia bertekad kuat untuk mengaplikasikan ilmunya di Indonesia. Pertama kali, Sampurno mengaplikasikan geologi teknik dalam pemugaran Candi Borobudur. Saat itu, ada tiga hal yang menjadi perhatiannya, yakni keadaan tanah, bahan baku batuan dan penyediaan air. Berkat pengabdiannya dalam pemugaran Candi Borobudur, ia pun menerima piagam penghargaan dan medali dari Menteri P dan K pada 22 Februari 1983.

Saat aktif dalam pemugaran Candi Borobudur itu pula, ia berkenalan dengan ahli purbakala, Dra Sri Wuryani yang kemudian menikahinya tahun 1964. Pernikahan ini dikaruniai tiga anak, yaitu Vedy, Niya, dan Ista.

Dia dan keluarganya hidup bersahaja. Kebersahajaan itu tercermin dari kegemarannya berbaju batik atau lurik dengan alas kaki sepatu sandal, serta pilihan hidupnya menjadi dosen. Penggemar olahraga renang dan menyapu lantai atau halaman rumah, ini memulai kariernya sebagai pengajar di ITB sejak 1 September 1959, hingga menjadi seorang profesor. Setelah 45 tahun mengabdi, dia mengaku gaji pokok seorang profesor hanya Rp 1.447.700.

Maka, selain mengajar di ITB, ia pun mengajar di berbagai perguruan tinggi lainnya, seperti di Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung, STT Nasional Yogyakarta, Universitas Pakuan (Unpak) Bogor dan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Di kalangan mahasiswanya, ia dikenal sebagai dosen yang disiplin dan "galak". Padahal, kalau di rumah, menurut pengakuan Niya, anak keduanya, tidak pernah marah. Di mata anak-anaknya, sang ayah terkesan paling senang kalau diajak makan di warung tenda. Jika ada pengamen, ia biasanya meminta dua sampai tiga lagu. Setelah itu pengamennya diajak makan bareng. Akan tetapi, kalau pengamennya waria, malah diminta cepat-cepat pergi.

Gaya dan semangat hidupnya bersahaja, hangat dan energik walau usianya sudah mencapai 70 tahun. Dalam usia 60 tahun, ia masih mampu mendaki puncak Cartenz di Pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya. Seperti tidak mengenal lelah, dia selalu bersemangat menanamkan kepedulian masyarakat terhadap alam melalui ilmu pengetahuan geologi.

Sejak tahun 1970, ia turut menerapkan ilmu geologi dalam berbagai bidang pembangunan. Seperti geologi untuk bendungan, jalan raya, longsoran, pengadaan air bersih, pengembangan wilayah dan kota, serta lokasi pembuangan sampah padat. Selama 37 tahun sejak tahun 1963, dia mengaplikasikan keahliannya di bidang geologi teknik, sebagai tenaga ahli di Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat.

Dia juga aktif dalam Kelompok Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Pariwisata (KPPLH dan KPPPar-ITB). Hasil penelitian dan pemikirannya tentang geologi teknik dan lingkungan tersebut tersebar di berbagai media.
Dia memang punya kemampuan menulis secara populer. Di berbagai media, Sampurno menulis dengan bahasa yang sederhana, mudah dan enak dicerna oleh pembaca awam sekalipun, sehingga ilmu pengetahuan geologi itu lebih membumi.

Dia pun sangat beruntung memiliki pasangan hidup, isteri, yang ahli purbakala. Secara tertib, isterinya selalu menyimpan tulisan-tulisan tersebut, baik berupa hasil penelitian maupun kliping surat kabar dan foto-fotonya. Kemudian oleh anak-anaknya, kumpulan tulisan itu dibukukan.

Telah terbit dalam dua jilid, yakni Kilas Balik Pelangi Kehidupan Sampurno dan Jejak Langkah Geologi. Kedua buku itu memperlihatkan kecintaannya terhadap geologi lingkungan. Diluncurkan pada pelepasannya sebagai guru besar ITB, 18 Desember 2004, setelah hampir setengah abad merintis aktivitas pemikirannya. Namun, sebagai guru, dia mengaku, tak mengenal pensiun. Menurutnya, pensiun sebagai guru besar di ITB, merupakan awal untuk melanjutkan perjalanannya di tempat lain. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kasih komentarnya ya reader :D